Pemahaman berdakwah dengan berdebat
Hadis menjadi salahsatu
pedoman hidup ummat manusia selain Al-Qur’an. Qaul, fi’il dan taqriry
Nabi Muhammad Saw merupakan sandaran umat manusia dalam mengatur segala aspek
kehidupan baik yang berhubungan dengan Allah dan yang berhubungan dengan
manusia.
Banyak persoalan dalam hidup ini muncul tanpa bisa kita
hindari, menemukan perbedaan
dalam setiap kesempatan tentu sering kali kita temui. Penyelesaiannya pun
beragam, tergantung masalah apa yang sedang kita hadapi. Berbicara tentang
debat tentu sudah seringkali kita temui kata tersebut muncul diberbagai tempat
dan keadaan bahkan terkadang dijadikan sebuah acara di salahsatu televisi
nasional.
Bertolak dari titik
tersebut, diantara hadis Nabi Muhammad Saw yang membahas tentang perdebatan
adalah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah Abu Abdillah Muhammad bin Yazid
Al-Qazwayni dalam Sunannya, dengan redaksi hadis sebagai berikut:
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ الْمُنْذِرِ قَالَ:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ فُضَيْلٍ، ح وَحَدَّثَنَا حَوْثَرَةُ بْنُ مُحَمَّدٍ
قَالَ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بِشْرٍ، قَالَا: حَدَّثَنَا حَجَّاجُ بْنُ
دِينَارٍ، عَنْ أَبِي غَالِبٍ، عَنْ أَبِي أُمَامَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَا ضَلَّ قَوْمٌ بَعْدَ هُدًى
كَانُوا عَلَيْهِ إِلَّا أُوتُوا الْجَدَلَ» ثُمَّ تَلَا هَذِهِ الْآيَةَ
{بَلْ هُمْ قَوْمٌ خَصِمُونَ} [الزخرف: 58]. [1]
Hadis ini menjelaskan
bahwa tidaklah suatu kaum sesat setelah datang petunjuk yang
mereka di atasnya melainkan setelah mereka melakukan perdebatan/perbantahan, sebenarnya
mereka adalah kaum yang suka bertengkar.
Jika ditelusuri lebih
dalam mengenai isi dari hadis tersebut, agaknya berhubungan dengan keadaan yang
terjadi saat ini. Dimana dapat kita temukan bahwa ada salahsatu pendakwah
terkemuka yang berasal dari Mumbai, India.
Ia adalah Dr. Zakir Abdul Karim Naik atau biasa dikenal dengan sebutan
Dr. Zakir Naik. Didalam dakwahnya tersebut beliau lebih banyak mengadakan
ceramah dan debat mengenai agama di berbagai negara di dunia. Dan baru-baru ini
tersiar kabar beliau berkunjung ke Indonesia pada 31 Maret hingga 9 April 2017.
[2]
Kata Debat sendiri
memiliki berbagai makna, yang diantaranya; Debat merupakan
kegiatan adu argumentasi antara dua pihak atau lebih, baik secara perorangan
maupun kelompok, dalam mendiskusikan dan memutuskan masalah dan perbedaan.[3] Sedang dalam KBBI, Debat
adalah pembahasan dan pertukaran pendapat
mengenai suatu hal dengan saling memberi alasan untuk mempertahankan pendapat
masing-masing.[4]
Kachwara dalam “Huang Nissan” yang dikutip dalam
Islami.co membuat
skema perbedaan antara Diskusi, Debat dan Dialog yang sengaja ditunjukan untuk
Program on Intergroup Relation University of Michigan, 2007. Menurutnya, In Discussion we try to mencari
jawaban dan solusi, In Debate we try to
meraih kemenangan dan mencari kelemahan, In Dialogue we try to mencari
kesepahaman dan memperluas perspektif yang kita miliki.[5] Maka menurut hemat penulis dapat disimpulkan
bahwa debat merupakan suatu kegiatan adu argumentasi untuk saling
mempertahankan pendapat.
Pengertian dari jadal adalah
perdebatan atau bertukar pikiran dengan niat untuk mengalahkan lawan dengan
menunjukkan kesalahan ucapan atau argumentasinya dan menisbatkan ketidaktahuan
kepadanya. Dalam Al-quran sendiri kata jadal disebutkan sebanyak 29
kali dengan berbagai derivasinya, diantaranya jaadilu, jaadaltum,
jaadaltuna, jaadiluka, yujaadiluna, yujaadilu, tujadiluka, yujaadilunaka,
yujaadilukum, jidaalan, dan wajadilhum. [6]
Secara umum, semua derivasi
kata jadal yang terdapat di dalam Alquran mengandung kesan
negatif yang mengarah pada perselisihan, perpecahan, dan menghilangkan
kebenaran. Jadi, kalau kita menyelidiki Alquran dan hadis-hadis Nabi saw, maka
kita dapat menyaksikan penilaian yang berbeda terhadap perdebatan. Adakalanya,
Alquran dan hadis menilai positif perdebatan, tetapi juga banyak menilainya
secara negatif. Adakalanya, Alquran dan hadis membolehkan perdebatan, tetapi
tak jarang melarangnya. seperti ayat ini misalnya,
ٱلَّذِينَ
يُجَٰدِلُونَ فِيٓ ءَايَٰتِ ٱللَّهِ بِغَيۡرِ سُلۡطَٰنٍ أَتَىٰهُمۡۖ كَبُرَ
مَقۡتًا عِندَ ٱللَّهِ وَعِندَ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْۚ كَذَٰلِكَ يَطۡبَعُ ٱللَّهُ
عَلَىٰ كُلِّ قَلۡبِ مُتَكَبِّرٖ جَبَّارٖ ٣٥
Artinya: (Yaitu)
orang yang memperdebatkan ayat-ayat Allah tanpa alasan yang sampai kepada
mereka. Amat besar kemurkaan (bagi mereka) di sisi Allah dan di sisi
orang-orang yang beriman. Demikianlah Allah mengunci mati hati orang yang
sombong dan sewenang-wenang.” (Q.S. Ghafir : 35).
Perdebatan selalu dibarengi dengan menyakiti orang lain, membangkitkan
amarahnya, dan memaksanya untuk membela pendapatnya, baik dengan cara benar
maupun salah. Maka, dua orang yang berdebat berusaha untuk menjatuhkan lawannya
dan menunjukkan kebodohannya. Karena itu obat untuk penyakit “berdebat” ini
adalah dengan memusnahkan penyebabnya yakni membuang kesombongan yang mendorong
manusia untuk menampakkan kelebihannya. Misalnya
saja, ketika menemukan ada seseorang yang mempunyai pengetahun yang cukup,
tetapi kadang justru dengan pengetahuannya itu, dia jadi gemar berdebat dengan
orang lain, untuk menunjukkan kepandaiannya.
Adapun orang yang menginginkan kebenaran, maka
kebenaran itu akan mudah diterima, tidak perlu dengan debat yang keras. Karena
kebenaran itu begitu jelas dan terang benderang. Intinya dalam debat itu hanya
ingin mencari-cari pembenaran untuk mendukung pendapatnya saja, bukan sejatinya
mencari kebenaran. Seperti yang dikutip dalam
artikel Islami.co; sebab sungguh banyak (dominan) persoalan “kelemahan
agama lain” yang menjadi materi ceramah Dr. Zakir Naik. Sebetulnya,
persoalan kelemahan dalam Kristiani memang tidak sepenuhnya menjadi faktor
pendorong kuat atau lemahnya iman seorang muslim. Naïf, bila memperkuat iman kita sendiri dengan menjatuhkan klaim
keliru pada agama lain.[7]
Fenomena tersebut membuat penulis tertarik untuk mengkaji
lebih dalam mengenai perdebatan dalam Islam dengan hadis-hadis Rasulullah Saw
yang termaktub yang telah menjadi pedoman ummat manusia setelah Al-Qur’an.
Sebagai langkah awal, penulis berupaya mencari makna
lafadz maupun redaksi hadis melalui sarana kamus dan kitab-kitab Syarah.
Setelah itu penulis berupaya mencari riwayat hadis lain yang serupa, merujuk
pada penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an yang selaras dengan pembahasan tersebut.
Dan sebagai langkah akhir, penulis berusaha mengkontekstualisasikan hadis
tersebut dengan realita kehidupan masyarakat dengan berpacu pada teks dan makna
asli hadis tersebut.
PEMBAHASAN
A. Teks Hadis
Seperti yang
telah disebutkan diatas, dalam pembahasan kali ini penulis akan mengambil
sebuah hadis riwayat Ibnu Majah Abu Abdillah
Muhammad bin Yazid Al-Qazwayni yang akan menjadi pokok pembahasan dalam kajian
matan yang berbunyi sebagai berikut:
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ الْمُنْذِرِ قَالَ:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ فُضَيْلٍ، ح وَحَدَّثَنَا حَوْثَرَةُ بْنُ مُحَمَّدٍ
قَالَ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بِشْرٍ، قَالَا: حَدَّثَنَا حَجَّاجُ بْنُ
دِينَارٍ، عَنْ أَبِي غَالِبٍ، عَنْ أَبِي أُمَامَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَا ضَلَّ قَوْمٌ بَعْدَ هُدًى
كَانُوا عَلَيْهِ إِلَّا أُوتُوا الْجَدَلَ» ثُمَّ تَلَا هَذِهِ الْآيَةَ
{بَلْ هُمْ قَوْمٌ خَصِمُونَ} [الزخرف: 58].[8]
“Telah menceritakan kepada kami Ali bin
Al Mundzir berkata, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Fudlail, Dan
menurut jalur lain; Telah menceritakan kepada kami Hautsarah bin Muhammad
berkata, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Bisyr keduanya berkata;
telah menceritakan kepada kami Hajjaj bin Dinar dari Abu Ghalib dari Abu Umamah
ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: " Tidak akan
tersesat suatu kaum setelah petunjuk selama mereka masih tetap di atasnya,
kecuali orang-orang yang senang berdebat." Kemudian beliau membaca ayat
ini: "tetapi mereka itu adalah kaum yang senang berdebat."
Hadis inilah
yang akan dibahas dan dikaji oleh penulis, guna menyingkap makna tersirat dan
tersurat didalamnya.
B.
I’tibar
1. Tawabi’
Hadis riwayat
Ibnu majah ini mempunyai riwayat dari jalur lain, baik yang sama lafadz dan
maknanya maupun dengan lafadz lain yang masih dalam satu tema.
Beberapa
periwayatan yang memiliki jalur rawi (sahabat) yang sama atau dikenal dengan tawabi’ antara lain:
-
Riwayat
Tirmidzi dari sahabat Abu Umamah sebagai berikut:
، عَنْ
أَبِي غَالِبٍ، عَنْ أَبِي أُمَامَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا ضَلَّ قَوْمٌ بَعْدَ هُدًى كَانُوا عَلَيْهِ إِلاَّ
أُوتُوا الجَدَلَ، ثُمَّ تَلاَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
هَذِهِ الآيَةَ: {مَا ضَرَبُوهُ لَكَ إِلاَّ جَدَلاً بَلْ هُمْ قَوْمٌ خَصِمُونَ}.[9]
-
Riwayat Ahmad ibn Hanbal dari sahabat Abu
Umamah sebagai berikut:
عَنْ
أَبِي غَالِبٍ، عَنْ أَبِي أُمَامَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " مَا ضَلَّ قَوْمٌ بَعْدَ هُدًى كَانُوا عَلَيْهِ
إِلَّا أُوتُوا الْجَدَلَ، ثُمَّ تَلَا هَذِهِ الْآيَةَ {مَا ضَرَبُوهُ لَكَ
إِلَّا جَدَلًا بَلْ هُمْ قَوْمٌ خَصِمُونَ} [الزخرف: 58] "[10]
-
Riwayat Abu Qoshim dari sahabat Abu Umamah
عَنْ
أَبِي غَالِبٍ، عَنْ أَبِي أُمَامَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " مَا ضَلَّ قَوْمٌ بَعْدَ هُدًى كَانُوا عَلَيْهِ
إِلَّا أُوتُوا الْجَدَلَ، ثُمَّ تَلَا هَذِهِ الْآيَةَ {مَا ضَرَبُوهُ لَكَ
إِلَّا جَدَلًا بَلْ هُمْ قَوْمٌ خَصِمُونَ} [الزخرف: 58] "[11]
2. syawahid
Hadis ini
memiliki syawahid yaitu hadis lain yang diriwayatkan dimana kandungan
maknanya sama dengan hadis lainnya, diantaranya adalah:
-
Riwayat Bukhori dari sahabat Aisyah RA,
mempunyai kandungan makna yang sama, sebagai berikut:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، عَنِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «إِنَّ أَبْغَضَ الرِّجَالِ
إِلَى اللَّهِ الأَلَدُّ الخَصِمُ»
Ibnu Hajar mengatakan:
“Mungkin
yang dimaksud dengan (الأَلَدُّ الْخَصِمُ) adalah (الشَدِيْدُ الخُّصُوْمَةُ), karena (الْخَصِمُ) merupakan bentuk muballaghoh sehingga menghasilkan makna
sangat keras dan makna banyak/sering”[12].Sehingga maknanya adalah
orang yang paking dibenci di sisi Allah adalah orang yang sangat keras ketika
berdebat dan sangat sering berdebat.
أخْبَرَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ الْحَسَنِ الْهَاشِمِيُّ , قَالَ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ
الْقَاسِمِ بْنِ بَشَّارٍ الْأَنْبَارِيُّ , قَالَ: حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ
إِسْحَاقَ , قَالَ: حَدَّثَنَا نَصْرُ بْنُ عَلِيٍّ , قَالَ: أَخْبَرَنَا
الْأَصْمَعِيُّ , قَالَ: حَدَّثَنَا الْخَلِيلُ بْنُ أَحْمَدَ , قَالَ: «مَا كَانَ
جَدَلٌ إِلَّا أَتَى بَعْدَهُ جَدَلٌ يُبْطِلُهُ» (شرح اصول إعتقاد اهل السنة
والجماعة)
C.
Ayat-ayat
Alqur’an
Adapun beberapa
ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan tema pembahasan hadis diatas antara
lain:
1. Surah Az-Zukhruf ayat 58:
وَقَالُوٓاْ
ءَأَٰلِهَتُنَا خَيۡرٌ أَمۡ هُوَۚ مَا ضَرَبُوهُ لَكَ إِلَّا جَدَلَۢاۚ بَلۡ هُمۡ
قَوۡمٌ خَصِمُونَ ٥٨
Dan mereka berkata:
"Manakah yang lebih baik Tuhan-Tuhan kami atau dia (Isa)?" Mereka tidak memberikan perumpamaan
itu kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja, sebenarnya mereka adalah
kaum yang suka bertengkar. (Az-Zukhruf: 58)
Imam Abu Ja’far
At-Thabari menafsirkan ayat ini dalam tafsirnya, bahwa mereka berdebat Tuhan,
dan mereka yang menyembah Isa tersebut hanyalah untuk mendebat Nabi Muhammad
saja.[13]
2. Surat Al-‘Ankabut : 46
۞وَلَا تُجَٰدِلُوٓاْ أَهۡلَ ٱلۡكِتَٰبِ
إِلَّا بِٱلَّتِي هِيَ أَحۡسَنُ إِلَّا ٱلَّذِينَ ظَلَمُواْ مِنۡهُمۡۖ وَقُولُوٓاْ
ءَامَنَّا بِٱلَّذِيٓ أُنزِلَ إِلَيۡنَا وَأُنزِلَ إِلَيۡكُمۡ وَإِلَٰهُنَا
وَإِلَٰهُكُمۡ وَٰحِدٞ وَنَحۡنُ لَهُۥ مُسۡلِمُونَ ٤٦
Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara
yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka, dan
katakanlah: "Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan
kepada kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu;
dan kami hanya kepada-Nya berserah diri" (QS.
Al-‘Ankabut : 46)
Imam Abu Ja’far At-Thabari menafsirkan ayat ini dalam
tafsirnya, bahwa wahai orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya janganlah
mendebat ahlul kitab kecuali dengan perkataan yang baik, kecuali mereka yang
menolak membayar jizyah, maka debatlah mereka hingga mereka masuk Islam
atau membayar jizyah.[14]
D. Makna Kata
معنى ضل في قاموس المعجم الوسيط
|
|
خفي: hilang, lenyap
|
ضلّ : ضلاّ، ضلالا، ضلالة
|
غاب: menghilang, lenyap
|
ضلّ
|
ضاع، تلف، هلك، بطل، ذهب: hilang, lenyap, binasa
|
ضلّ : ضلّ الشئ فى الشئ
|
معنى الجدل في قاموس المعجم الوسيط
|
|
طريقة فى المناقشة
والإستدلال صورها الفلاسفة بصور مختلفة ، وهو عند مناطقة المسلمين
|
الجدَل
|
العضو
|
الجدْل
|
العظم الموفّر
|
الجدْل
|
الخصم: bantahan, tandingan, saingan
|
الجدْل
|
E. Makna Hadis
Pada dasarnya, ulama-ulama terdahulu telah
memberikan makna pada hadis-hadis Nabi
Saw. Termasuk juga hadis ini, mereka memberi makna yang sesuai dengan
zamannya dengan pemahaman yang didapat dari guru-guru dan para pendahulunya
secara turun temurun, sehingga tidak banyak perbedaan dalam memahami dan
menterjemahkan kandungan daripada hadis yang disampaikan oleh Rasulullah Saw.
Kemudian makna dari hadis tersebut adalah:
“Tidaklah suatu kaum itu
tersesat setelah mendapat hidayah kecuali ia mendatangkan bantahan/tandingan/saingan”.
Al Imam Adz Dzahabi Rohimahullah menempatkan
perdebatan, pertengkaran sebagai dosa besar yang ke-65 dalam Kitab Al Kabair.
Beliau Rohimahullah mengatakan,
الكبيرة الخمسة و الستون :
الجدل و المراء و اللدد ووكلاء القضاة
“Dosa besar ke-
65 : perdebatan, pertengakaran dan perwakilan hakim”. [16]
F. Kontekstualisasi Hadis
Berdasarkan penjelasan diatas, sebagai
kontekstualisasi makna hadis, penulis ingin menjelaskan hadis terkait dengan
fenomena Dr. Zakir Naik mengenai dakwah dengan berdebat, apakah termasuk dalam
sesuatu yang justru menyesatkan atau bukan, karena itu penulis mengambil
beberapa ibarah yang dijelaskan oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin
beliau mengatakan bahwa; Perdebatan itu ada dua jenis, yaitu:
1. perdebatan untuk mencela yaitu untuk
merendahkan orang-orang bodoh dan mencela ulama. Sebenarnya yang diinginkan
dari perdebatan ini adalah membela pendapat pribadinya. Maka jenis ini tercela.
2. Perdebatan untuk mendapatkan kebenaran
walaupun orang yang berdebat telah berada di atas kebenaran tersebut. Jenis ini
tepuji dan diperintahkan. Tanda jenis yang kedua ini adalah jika kebenaran
telah jelas bagi orang yang berdebat maka hatinya akan tenang dan mengumumkan
bahwasanya dia telah meralat kesalahannya sebelum perdebatan tersebut.
Sedangkan tanda perdebatan jenis yang pertama
adalah yaitu keinginan sebenarnya adalah untuk membela pendapat pribadinya.
Jika kebenaran telah jelas (dan hal itu berseberangan dengan pendapat
pribadinya) maka dia tidak akan menerimanya dan terus menerus ‘ngeles’ hingga
tidak akan anda dapati ujungnya. Orang yang demikian ini berada dalam sebuah
bahaya yaitu dia tidak akan menerima kebenaran dari perdebatan dan yang lebih
parah lagi dia juga tidak akan menerima kebenaran ketika dia sedang sendiri
karena syaithon akan membisikkan sesuatu kepadanya sehingga dia ragu dengan
kebenaran tersebut”[17]
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin juga
mengatakan:
“(Diantara faidah dari
Surat Al Baqoroh ayat 204 adalah Isyarat yang menunjukkan tercelanya perdebatan
dan perbantahan. Berdasarkan Firman Allah Ta’ala,
وَمِنَ
ٱلنَّاسِ مَن يُعۡجِبُكَ قَوۡلُهُۥ فِي ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَا وَيُشۡهِدُ ٱللَّهَ
عَلَىٰ مَا فِي قَلۡبِهِۦ وَهُوَ أَلَدُّ ٱلۡخِصَامِ ٢٠٤
“Dan di antara manusia
ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan
dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah
penantang yang paling keras.” QS. Al Baqoroh [2] : 204)
Karena
perdebatan pada umumnya tidak terdapat padanya keberkahan. seseorang yang
berdebat dan berbantah-bantahan dalam rangka merendahkan kebenaran. Tidaklah seseoang
yang melakukan perdebatan melainkan Allah cegah dia dari keberkahan. Karena
pada umumnya orang yang melakukan perdebatan yang diinginkannya sebenarnya
adalah membela pendapatnya. Oleh karena itulah Allah cegah dia dari keberkahan”[18]
“Adapun orang yang menginginkan kebenaran maka
sesungguhnya kebenaran adalah suatu hal yang mudah, simple, tidak butuh
terhadap perdebatan yang panjang karena sudah jelas. Oleh karena itulah kalian akan
mendapati ahlul bid’ah yang mana mereka adalah orang yang memperdebatkan bid’ah
mereka, ilmu mereka tidak berkah dan tidak ada kebaikan padanya. kalian akan
mendapati mereka sering berdebat, berbantah-bantahan yang tidak ada ujungnya,
tidak berujung pada penerimaan terhadap kebenaran. Karena maksud mereka adalah
untuk membela pendapatnya. Maka setiap orang yang berdebat dengan tujuan untuk
membela pendapatnya pada umumnya tidak akan mengikuti kebenaran, tidak
mendapatkan keberkahan ilmu. Sedangkan orang yang berdebat untuk mencari
kebenaran dan menetapkan kebenaran serta membantah kebathilan maka hal ini
merupakan suatu hal yang diperintahkan berdasarkan firman Allah Ta’ala,
ٱدۡعُ
إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِٱلۡحِكۡمَةِ وَٱلۡمَوۡعِظَةِ ٱلۡحَسَنَةِۖ وَجَٰدِلۡهُم
بِٱلَّتِي هِيَ أَحۡسَنُۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعۡلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِۦ
وَهُوَ أَعۡلَمُ بِٱلۡمُهۡتَدِينَ ١٢٥
“Serulah
(manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih
mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih
mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” QS. Al Nahl
[16] :125)
Namun demikian ada sebuah ayat yang hendaknya
kita, anda perhatikan sebelum mulai berdebat. Agar niat atau tujuan perdebatan
tidak salah. Karena jika perdebatan yang kita lakukan adalah jenis yang pertama
maka kita khawatirkan firman Allah Swt.
وَنُقَلِّبُ
أَفِۡٔدَتَهُمۡ وَأَبۡصَٰرَهُمۡ كَمَا لَمۡ يُؤۡمِنُواْ بِهِۦٓ أَوَّلَ مَرَّةٖ
وَنَذَرُهُمۡ فِي طُغۡيَٰنِهِمۡ يَعۡمَهُونَ ١١٠
“Kami memalingkan hati dan penglihatan
mereka seperti mereka belum pernah beriman kepadanya (Al Quran) pada
permulaannya, dan Kami biarkan mereka bergelimang dalam kesesatannya yang
sangat”. (QS. Al An’am [6] : 110)
Ibnu Katsir
Rohimahullah mengatakan,
“Mujahid mengatakan,
‘Firman Allah (وَنُقَلِّبُ أَفْئِدَتَهُمْ وَأَبْصَارَهُمْ كَمَا
لَمْ يُؤْمِنُوا بِهِ أَوَّلَ مَرَّةٍ) maksudnya Kami akan
halangi antara mereka dan keimanan walaupun seluruh ayat Al Qur’an maka mereka
tidak akan beriman sebagaimana kami halangi antara mereka dan keimanan pertama
sekali”[19]
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin
mengatakan,
“Maka wajib bagi kalian wahai
saudaraku untuk menerima kebenaran sama saja ketika berdebat dengan orang lain
atau ketika anda sendirian. Sehingga ketika telah jelas bagi anda kebenaran
maka katakanlah kami mendengar dan kami ta’at, kami beriman dan kami percaya”[20]
PENUTUP
Bertolak dari pembahasan
yang telah dipaparkan diatas, penulis dapat menyimpulkan beberapa hal sebagai
berikut:
Perdebatan itu
merupakan adu argumentasi mengenai suatu hal dan saling mempertahankan
pendapatnya masing-masing. Perdebatan selalu
dibarengi dengan menyakiti orang lain, membangkitkan amarahnya, dan memaksanya
untuk membela pendapatnya, baik dengan cara benar maupun salah. Maka, dua orang
yang berdebat berusaha untuk menjatuhkan lawannya dan menunjukkan kebodohannya.
Karena itu obat untuk penyakit “berdebat” ini adalah dengan memusnahkan
penyebabnya yakni membuang kesombongan yang mendorong manusia untuk menampakkan
kelebihannya.
Perdebatan itu terbagi dua, perdebatan tercela
dan terpuji. Perdebatan tercela dikatakan demikian karena debat tersebut hanya
ingin mengobarkan amarah, tanpa memakai dasar ilmu dan membenarkan sesuatu yang
salah. Sedangkan perdebatan yang terpuji untuk menampakkan
kebenaran dan menjelaskannya, yang dilakukan oleh seorang ‘alim dengan niat
yang baik dan konsisten dengan adab-adab (syar’iy) maka perdebatan
seperti inilah yang dipuji.
[1]
Ibnu
Majah Abu Abdillah Muhammad bin Yazid Al-Qazwayni, Sunan Ibnu Majah, No.
Hadis 48, (Darr Al-Ihya Al-Kutub Al-Arabiyah, t.t), jld. 1, hal. 19
[5]
Iman Zanatul Haeri, “Zakir Naik
Membunuh Keimanan Muslim,” artikel diakses pada 25 April 2017 dari https://islami.co/zakir-naik-membunuh-keimanan-muslim/
[6]
Hadi, “Etika Berdebat Menurut
Islam,” artikel diakses pada 26 April 2017 dari http://liputanislam.com/kajian-islam/telaah/etika-berdebat-menurut-islam-1/
[7]
Iman Zanatul Haeri, “Zakir Naik
Membunuh Keimanan Muslim,” artikel diakses pada 25 April 2017 dari https://islami.co/zakir-naik-membunuh-keimanan-muslim/
[8]
Ibnu
Majah Abu Abdillah Muhammad bin Yazid Al-Qazwayni, Sunan Ibnu Majah, No.
Hadis 48, (Darr Al-Ihya Al-Kutub Al-Arabiyah, t.t), jld. 1, hal. 19
[10]
Ahmad ibn hanbal, Musnad al-Imam
Ahmad ibn Hanbal, )Muassasah al-Risalah) No. Hadis 22164,
hal. 493
[11]
Abu Qoshim, Syarah Ushul I’tiqod
Ahl Sunnah Wal Jamaah, (Saudi: Daar At-Thayyibah) jld.1, hal.128
[13]
Abu Ja’far At-Thabari, Jaami’
Al-Bayan Fii At-Ta’wil Al-Qur’an, (Muassasah Ar-Risalah), Tafsir
Surah Az-Zukhruf, Hal. 628
[14]
Abu Ja’far At-Thabari, Jaami’
Al-Bayan Fii At-Ta’wil Al-Qur’an, (Muassasah Ar-Risalah), Jld 20, hal.
46
[16]
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al
‘Utsaimin, Syarh Al Kabair,( Beirut Lebanon: Darul Kutub Ilmiyah), hal. 215.